Melihat peluang permintaan kunyit yang semakin besar dan adanya permintaan untuk ekspor simplisia, maka petani akan berupaya menerapkan produktivitas kunyit dengan menerapkan budidaya yang baik.

"Kunyit asal Garut ini disukai oleh pembeli karena ukuran umbinya besar dan warna dagingnya kuning cerah, sehingga kunyit dari daerah ini selalu ditunggu-tunggu oleh pedagang di pasar Kramatjati," tutur ketua Kelompok Tani Selaawi, Sopandi.

Untuk diketahui, sentra kunyit di Garut sendiri tersebar di tiga desa yaitu desa Selaawi, Mekarsari dan Cirapuhan. Dari analisa usaha tani, BEP produksi kunyit di Selaawi sebesar Rp 1.500 per kg dan harga jual di tingkat petani sebesar Rp 3.500 - 4.000 per kg. Margin berkisar Rp 2.000 - 2.500 per kg membuat petani sangat bergairah menanam kunyit. 

Sopandi menambahkan produktivitas kunyit di Selaawi memang masih rendah yaitu sebesar 15 ton/ha. "Potensi optimal produksi sebesar 30 to/ha, tentu masih jauh," tambahnya.

Hal tersebut dikarenakan petani belum sepenuhnya menerapkan budidaya dengan baik. Namun dengan melihat peluang permintaan kunyit yang semakin besar dan adanya permintaan untuk ekspor simplisia, maka petani akan berupaya menerapkan produktivitas kunyit dengan menerapkan budidaya yang baik. 

Kepala Seksi Sayuran dan Tanaman Obat Dinas Petanian Kabupaten Garut, Didin menuturkan Kondisi kecamatan Selaawi di ketinggian menengah membuat tanah berwarna merah dan gembur. "Disana tidak terdapat jaringan irigasi. Lahan hanya cocok ditanami jagung, singkong dan padi gogo yang hasilnya tidak seberapa," tuturnya.

Pada 1995 petani mulai mencoba menanam kunyit, baik monokultur maupun tumpangsari dengan jagung. Apabila dibandingkan dengan menanam jagung singkong dan padi gogo, pendapatan dari menanam kunyit lebih menjanjikan. Inilah faktor penarik sehingga pertanaman kunyit terus berkembang sehingga saat ini mencapai luas 300 ha/tahun.  

Dorong Ekspor

Direktur Sayuran dan Tanaman Obat, Prihasto Setyanto menjelaskan bahwa pertumbuhan produksi kunyit periode 2013 - 2017 sebesar 2 persen per tahunnya yaitu 120.726 ton (2013), 112.088 ton (2014), 113.101 ton (2015), 107.770 ton (2016) dan 128.339 ton (2017).

Produksi kunyit juga di ekspor ke India dan Timur Tengah, dengan angka pertumbuhan rata-rata 20 persen. Volume ekspor berturut-turut sebesar 1.947 ton, 3.808 ton, 8.670 ton, 7.464 ton dan 7.795 ton.

“Saya sangat mendukung pengembangan tanaman obat, karena dibutuhkan sebagai bahan baku untuk jamu dan fitofarmaka oleh pelaku usaha jamu dan industri obat. Apalagi saat ini pemanfaatan obat tradisonal untuk peningkatan kesehatan masyarakat sedang digalakan oleh Pemerintah," jelas Prihasto.

Dia mencontohkan ada kegiatan Faslitasi Pusat Pengolahan dan Pasca Panen Tanaman Obat (P4TO) di daerah-daerah oleh Kementerian Kesehatan. Di samping itu juga diterbitkan Inpres No. 6 tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan.

Tindak lanjut Inpres akan dikembangkan obat tradisonal (fitofarmaka) yang setara dengan obat konvesional yang dapat diresepkan oleh dokter. Jenis fitofarmaka yang akan dikembangkan salah satunya menggunakan bahan baku dari kunyit sebagai obat adjuvant kanker.

Dalam pengembangan tanaman obat ini Ditjen Hortikultura akan bersinergi dengan beberapa instansi terkait yaitu Dinas Pertanian Propinsi/Kabupaten/Kota, Lembaga Penelitian (Balitrro, Puslitbanghorti, LIPI, BPP), Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, BPOM, Perguruan Tinggi, GP Jamu.

Dukungan Kementerian Pertanian sebagai penyedia bahan baku pada TA. 2019, mengalokasikan pengembangan tanaman obat (jahe kunyit, temulawak , kapulaga, lidah buaya dan buah merah) seluas 400 ha di daerah sentra dan kawasan perbatasan. Untuk kunyit sendiri dialokasikan di kabupaten Bodowoso dan Garut.